Daftar Blog Saya

Rabu, 02 Februari 2011

PuLau TiDunG


Jeng-Jeng Pulau Tidung, Kepulauan Seribu

di jembatan menuju Pulau Tidung Kecil
di jembatan menuju Pulau Tidung Kecil

Pulau Tidung merupakan pulau terbesar dari gugusan Kepulauan Seribu. Lokasinya yang berada di barat daya dari gugusan pulau-pulau lain, membuat pulau ini sedikit terpencil namun memiliki pesona tersendiri.
Saya berkesempatan menginjakkan kaki ke pulau yang terdiri dari 2 pulau (Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil) ini. Salah satu pesona wisata yang menjadi unggulan dari pulau ini adalah adanya jembatan yang menyeberangi lautan untuk menghubungkan pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil.
Kami berangkat menggunakan kapal motor dari Pelabuhan Muara Baru, Muara Angke, jakarta Utara, sekitar jam 7.15. Berbeda dengan kapal-kapal yang melayani rute ke Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, kapal yang menuju Pulau Tidung lebih sedikit peminatnya. Kapalnya pun hanya beroperasi sekali sehari.
Perjalanan dari Muara Angke ke Pulau Tidung memakan waktu 2.5 sampai 3 jam dengan ongkos 33 ribu per orang.
Dermaga Pulau Tidung sedikit berbeda dengan dermaga di Pulau Pramuka. Di depan dermaga terdapat tembok batu memanjang yang membuat dermaga seperi berada di dalam teluk. Bangunan yang ada di kompleks pun sangat baik. Namun sayang, laut di sekitar dermaga kotor dan penuh dengan sampah.
Dermaga Pulau Tidung
Dermaga Pulau Tidung

Secara umum, perkampungan di Pulau Tidung tidak jauh berbeda dengan di Pulau Pramuka. Namun di Pulau Pramuka lebih bersih dan tertata daripada di Pulau Tidung.
Yang membedakannya lagi, listrik PLN sudah masuk ke pulau ini, berbeda dengan listrik di Pulau Pramuka yang masih mengandalkan generator diesel untuk membangkitkan listrik sehingga hanya menyala dari jam 4 sore hingga jam 7 pagi itu.
Listrik PLN masuk ke Kepulauan Seribu pada tahun 2008 yang dialirkan dari pembangkit listrik Tanjung Pasir, Tangerang, melalui kabel bawah laut. Untuk sementara, hanya pulau-pulau di gugus selatan saja yang mendapat pasokan, salah satunya adalah Pulau Tidung.
kWH meter prabayar
kWH meter prabayar

Listrik yang digunakan sistemnya prabayar. Seperti pada voucher ponsel, penduduk membeli sejumlah kWH yang kemudian “diisikan” ke begenzer (kWH meter). Cara ini dinilai lebih menguntungkan karena penduduk bisa menggunakan listrik seperlu mereka.
Melihat sekilas, saya menemukan banyak sekali pohon jambu air dan pohon sukun yang tumbuh di halaman rumah warga. Beberapa sepeda motor wira-wiri selain sepeda yang menjadi sarana transportasi warga. Gerobak juga rupanya menjadi salah satu alat transportasi alternatif, baik untuk menjajakan dagangan sayur atau untuk membawa beban berat.
Gerobak jualan di Pulau Tidung
Gerobak jualan di Pulau Tidung

Penginapan untuk wisatawan sangat minim. Salah satu yang terkenal adalah homestay Lima Saudara milik pak H. Mid yang terkenal. Tinggal bertanya pada warga, dengan senang hati mereka akan menunjukkan jalan ke sana.
Untuk sewa penginapan, budget-nya sekitar 300-350 ribu per rumah (sistem rumah) atau 200 ribu per kamar (maksimal diisi 6 orang).
Selain di homestay tersebut, jika “supel”, bisa menginap di rumah warga. Biayanya juga bisa lebih murah dan fasilitasnya bisa lebih lengkap. Tentunya adanya interaksi dengan penghuni membuat suasana menjadi lebih akrab.
Suasana kampung di Pulau Tidung
Suasana kampung di Pulau Tidung

Minimnya sarana penginapan ini kemungkinan karena minimnya wisatawan yang datang ke pulau ini bila dibandingkan wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka.
Setelah beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk berkeliling pulau yang luasnya sekitar 106 hektar ini dengan menggunakan sepeda sewaan. Sepeda yang kami gunakan kondisinya kurang bagus, apalagi harga sewa yang cukup mahal menurut saya, 15 ribu per sepeda. Namun daripada tidak ada, kami pun akhirnya menyewanya juga.
Kami menyusuri jalan sepanjang pantai selatan menuju ke Timur, menuju ke arah jembatan Pulau Tidung Kecil. Jalan ber-paving-block dengan pemandangan laut di samping kanan membuat bersepeda menjadi menyenangkan. Sepanjang jalan tumbuh pohon cemara udang membuat suasana menjadi teduh.
Bersepeda ke jembatan Tidung Kecil
Bersepeda ke jembatan Tidung Kecil

Sesampai di sana, kami sedikit kecewa karena jembatan sedang dalam perbaikan. Jembatan kayu yang sudah mulai lapuk ini akan diganti dengan jembatan yang terbuat dari besi.
Tak hilang akal, dengan modal nekat, kami menitipkan sepeda di tempat istirahat para pekerja jembatan, kemudian menyeberangi jembatan belum jadi itu. Kami menyebutnya jembatan shiratal mustaqim, karena kami harus meniti jalan beton setapak yang bila tidak hati-hati bisa nyemplung ke laut yang dalamnya sekitar 2-3 meter.
Shiratal mustaqim Pulau Tidung
Shiratal mustaqim Pulau Tidung

Sebenernya Pulau Tidung Besar dan kecil ini masih berada dalam satu gugusan karang yang sama. Oleh karena itu, jembatan sepanjang sekitar 105 meter ini bisa dibuat di atas karang ini. Jembatan pun dibangun tidak lurus, namun berkelok-kelok demi mengikuti kontur karang yang dangkal.
Di satu bagian, ada bagian jembatan yang menanjak. Ini digunakan sebagai “terowongan” bila ada kapal yang hendak melintas di bawah jembatan ini.
Jembatan Pulau Tidung
Jembatan Pulau Tidung

Di beberapa titik terdapat gazebo, sehingga kita bisa beristirahat sejenak untuk menikmati pemandangan laut yang indah lengkap dengan karang dan ikan-ikan yang bermain di air berwarna hijau tosca.
Saya heran. Padahal saya tidak bermasalah dengan keseimbangan dan ketinggian, ketika saya hendak melangkahkan kaki di shiratal mustaqim itu, tiba-tiba saja kaki ini tidak bisa digerakkan. Saya merasa ketakutan meniti balok beton tersebut.
Walau saya sudah menenangkan dan meyakinkan diri, saya tetap tidak bisa melangkah dan cuma meringis melihat teman-teman serombongan saya yang sudah sampai di ujung jembatan berkayu.
Mungkin angin yang bertiup cukup kencang membuat saya sedikit ketakutan nyemplung ke laut. Apalagi saya membawa kamera dan ponsel di dalam tas, sehingga dua benda itu menjadi pikiran saya.
Kebetulan, ada teman dari rombongan lain yang mengalami hal yang sama dengan saya. Ketakutan menyeberangi shiratal mustaqim dan cuma bisa terdiam di tengah jembatan. Kami pun memutar akal supaya bisa mencapai ujung jembatan kayu.
Kami melihat seorang pekerja karamba yang tak jauh dari jembatan sedang mendayung sampan. Kami pun berteriak-teriak memanggil dan meminta tolong untuk diseberangkan. Awalnya si empunya perahu meminta harga sewa 5 ribu per orang, kami pun menawar 10 ribu untuk menyeberangkan kami bertiga. Deal, kami pun menaiki sampan untuk menuju seberang!
Setelah menyusuri jembatan kayu yang memang terlihat lapuk di sana-sini, sampailah kami di Pulau Tidung Kecil. Di sekitar pulau terdapat segerombolan pohon bakau muda.
Pulau Tidung Kecil memang tidak dihuni. Memang, awalnya penduduk memang tinggal di pulau ini, namun seiring perkembangan jumlah penduduk, mereka pun pindah ke Pulau Tidung Besar.
Pulau Tidung Kecil digunakan sebagai pusat pembibitan dan pengembangbiakkan tanaman di Kaupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Bibit pohon jambu air, sukun, bakau, dikembangbiakkan di pulau ini. Ndak heran kalo di Pulau Tidung Besar terdapat banyak pohon jambu air dan pohon sukun.
Terdapat jalan berpaving block membentang di sisi selatan pulau. Daun-daun berguguran menutupi sebagian jalan membuat saya seolah-olah berada di negeri yang sedang mengalami musim gugur.
Jalan di Pulau Tidung Kecil
Jalan di Pulau Tidung Kecil

Di ujung jalan, kami menemukan bangunan pusat pengembangan bibit tanaman. Terlihat bibit tanaman bakau tertata dengan cantik di halaman bangunan ini.
Bibit bakau
Bibit bakau

Karena penasaran dengan pantainya, kami nekad meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan setapak membelah ilalang dan rumput gajah. Saya bahkan tidak mempedulikan kulit tangan dan kaki yang tergores dedaunan rumput gajah.
Yang saya takutkan cuma satu, kaalu tiba-tiba ada ular nongol dan menggigit kaki kan sangat tidak lucu!
Menembus ilalang
Menembus ilalang

Di tengah jalan, kami menemukan sebuah musholla kecil. Rupanya di situ terdapat makam Panglima Hitam dan sebuah sumur.
Makam Panglima Hitam
Makam Panglima Hitam

Tentang Panglima Hitam ini, ada banyak versi cerita. Salah satu versinya, menurut cerita masyarakat setempat, Panglima Hitam adalah seorang sakti yang berasal dari Cirebon yang kalah perang melawan Belanda dan lari ke Pulau Tidung untuk berlindung. Dari kata “berlindung” inilah asal kata “tidung”.
Sumur yang terletak tak jauh dari makam itu disebut dengan sumur bawang, yang dikeramatkan dan dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Seekor kucing kuning yang rupanya peliharan Abah Suharna, si juru kunci makam, datang ke arah saya begitu saya panggil. Saya terbelalak ketika mengelus-elus kucing tersebut melihat gigi taring kucing ini lebih panjang dari kucing-kucing normal ketika si kucing menguap.
Saya jadi tambah yakin dengan hawa-hawa “asing” yang langsung menyelimuti perasaan saya semenjak menginjakkan kaki di pulau ini.
Kami meneruskan perjalanan mencari pantai yang asyik. Tak lama kemudian kami pun tiba di pantai yang kami maksud. Apalagi yang tidak dilakukan kecuali foto-foto?
Foto-foto di pantai
Foto-foto di pantai

Saya pun karena tidak tahan melihat seorang teman yang udah duluan nyemplung, akhirnya melepaskan kaos dan bergabung dengan nyemplung cibang-cibung.. Sueger rasanya walau nantinya saya harus menerima konsekuensi kulit jadi pliket terkena garam dan menjadi semacam ikan asin berjalan. Hahaha!
nyemplung di Pulau Tidung Kecil
nyemplung di Pulau Tidung Kecil

Karena ingin mengejar sunset di pantai barat Tidung Besar, kami memutuskan untuk segera kembali ke Pulau Tidung Besar.
Kami bertemu rombongan lain yang sedang menikmati kelapa muda yang baru dipetik dari pohon, tepat di depan bangunan pusat pembibitan tanaman. Duh, enaknya! Kami bersepakat untuk menghemat biaya kapal untuk snorkeling besok pagi, kami akan bergabung dan menyewa satu kapal saja.
Setelah melewati jembatan dan sampai di ujung, kami harus meniti kembali shiratal mustaqim. Tidak seperti pas berangkat, kali ini saya melahap shiratal mustaqim dengan amat sangat lancar. Ketakutan saya tadi seketika sirna entah ke mana.
Mengejar sunset
Mengejar sunset

Dengan menggunakan sepeda, kami mengayuh menuju pantai barat untuk mengejar sunset. Kami harus melewati jalan setapak yang membelah hutan pohon kelapa dengan pemandangan pantai di sebelah utara. Beberapa kali kami harus menuntun sepeda karena kami melewati jalan berpasir yang membuat sepeda kami selip.
Kami pun tiba di pantai yang dimaksud, tepat sebelum matahari terbenam!
Sunset Pulau Tidung
Sunset Pulau Tidung

Malamnya kami beristirahat di penginapan. Beberapa teman sedang berpesta barbekyu ikan di halaman, namun saya memutuskan untuk tidur guna menyusun tenaga yang terkuras karena seharian berkeliling untuk digunakan ber-snorkeling esok paginya. Apalagi kami berniat melihat sunrise di ujung pantai timur, di seputaran jembatan ke arah Pulau Tidung Kecil.
Saya terbangun mendengar alarm ponsel yang berteriak lantang. Teman-teman masih terkapar dan sayup-sayup saya mendengar suara pengajian dari masjid-masjid. Segera saya mengambil air wudhu yang payau dan sholat Shubuh. Selesai sholat, teman-teman sudah bangun.
Bergegas kami pun bersiap untuk mengejar sunrise. Sepeda kami kayuh membelah pagi yang masih gelap. Untungnya bulan yang separo masih nongol menerangi jalan kami. Sampai di ujung timur pulau, langit sudah mulai terang. Sayang, awan tebal menutupi matahari sehingga kami gagal melihat mentari menampakkan wajahnya.
Kami segera kembali ke penginapan karena pagi-pagi benar kami harus check-out dan segera naik kapal untuk snorkeling dan menuju ke Pulau Pramuka. Karena tidak ada kapal yang berangkat siang dari Pulau Tidung, kami kembali ke Jakarta melalui Pulau Pramuka yang mempunyai jadwal kapal berangkat siang hari.
Harga sewa kapal sekitar 250-350 ribu. Tapi karena si empunya kapal tau bahwa ada dua kelompok yang hendak berhemat dengan menyewa satu kapal, dia ndak mau rugi dan memasang harga yang sangat mahal. Tawar menawar terjadi dan akhirnya disepakati harga 500 ribu per kapal, yang menurut saya masih sangat mahal. Tapi karena biaya ditanggung 2 kelompok, jatuhnya tetap 250 ribu per kapal.
di atas perahu berangkat snorkeling
di atas perahu berangkat snorkeling

Kami pun menuju Pulau Karang Beras dan Pulau Air untuk snorkeling dan pemberhentian terakhir di Pulau Pramuka.
Saya banyak berbincang dengan si nakhoda yang ternyata anggota pemadam kebakaran Kepulauan Seribu. Saya bahkan diijinkan untuk memegang kemudi kapal dan mengendalikan kapal menuju ke Pulau Karang Beras.
Mengendalikan perahu itu tidak mudah. Kemudi harus diputar perlahan supaya berbelok dengan mulus. Bila tidak, kapal akan miring. Beberapa kali saya membuat kapal agak miring karena saya mengemudikan kapal masih kasar.
Sembari menuju Pulau Karang Beras, si nakhoda mengambil gulungan senar dengan umpan bulu ayam. Umpan tersebut kemudian direntangkan dan ditarik sambil kapal berjalan. “Siapa tau dapat tongkol”, demikian kata si nakhoda.
Gulungan senar penangkap ikan
Gulungan senar penangkap ikan

Tongkol memang banyak terdapat di laut sekitar Pulau Tidung. Pantas saja rekan-rekan serombongan sampai jenuh dengan hidangan makan yang tongkol-lagi-tongkol-lagi.
Kami snorkeling di sekitara pulau Karang Beras dan Pulau Air. Dari kedua spot ini, saya paling suka dengan spot di Pulau Air (yang merupakan kawasan resort yang dikelola oleh swasta).
Terumbu karang di kawasan Pulau Karang Beras relatif dangkal. Bahkan saking dangkalnya, beberapa kali kaki saya terantuk karang-karang tajam. Bila tidak berhati-hati, kita bisa menginjak karang tajam dan merusak terumbu karang yang ada di lingkungan ini.
Sayang kami tidak memiliki kamera bawah air, sehingga tidak ada yang bisa mengambil gambar indahnya terumbu karang di lokasi ini.
Di Pulau Karang Beras, banyak sekali terumbu karang berjenis acropora berbentuk cabang, acropora padat (mirip batu), acropora tabular (berbentuk seperti lembaran meja), dan acropora berjari (bentuk seperti sekumpulan jari). Namun yang paling dominan adalah acropora tabular, cabang, dan berjari.
Di Pulau Air, terumbu karangnya lebih bervariatif dan hampir merata. Selain seperti apa yang ada di Pulau Karang Beras, ikan-ikan yang ada pun lebih banyak dan beragam jenis. Bintang laut pun banyak ditemukan di Pulau Air.
Snorkeling
Snorkeling

Dalam perjalanan menuju Pulau Air, sepanjang perjalanan saya melihat ikan terbang sesekali melompat-lompat di atas permukaan air. Bahkan pas hampir sampai Pulau Air, seekor penyu sisik menampakkan wujudnya sebentar sebelum kembali masuk ke dalam laut.
Saya hampir tenggelam ketika snorkeling di Pulau Air ini. Karena kurangnya alat, kami memakai alat snorkel bergantian. Saya nekat turun ke laut tanpa menggunakan life-vest yang membuat kita tetap mengapung.
Awalnya lancar-lancar saja, saya bisa mengapung dengan baik sambil berenang menikmati pemandangan terumbu karang. Ketika saya berhenti sejenak dan hendak mengambil nafas, tiba-tiba saya meminum banyak air laut. Situasi demikian sempat membuat saya panik karena badan saya tidak mau mengapung.
Saya berusaha tenang dan mencoba mencapai permukaan, tapi karena air laut terus masuk melalui hidung dan tenggorokan, saya tidak bisa bernafas dan terus tenggelam perlahan. Untung saya masih bisa meraih teman yang menggunakan pelampung sehingga saya bisa mengambil nafas.
Sebuah pengalaman yang cukup mengerikan bagi saya, walau tidak sampai membuat saya kapok snorkeling.
Selesai snorkeling, kami singgah di Pulau Air untuk makan siang. Kami memang membawa bekal makan siang. Kami makan siang sambil duduk-duduk di pinggir laut dirindangi pohon cemara udang sambil melihat speedboat yang wira-wiri melintas.
Resort Pulau Air memang menyewakan speedboat untuk digunakan oleh wisatawan. Sebenernya Pulau Air merupakan wilayah privat, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk. Terbukti dengan beberapa orang penjaga yang mendatangi kami untuk menanyakan keperluan. Untung awak kapal bisa menjelaskan dan penjaga tersebut memaklumi.
di Pulau Air
di Pulau Air

Ada cerita lucu. Ketika kami sedang asyik makan siang dan menikmati pemandangan speedboat yang berslieweran, tiba-tiba sebuah speedboat melaju kencang menimbulkan gelombang air yang cukup besar untuk memuncratkan air ke arah kami yang sedang makan.
Walhasil, kami seperti kehujanan dan nasi kami sedikit tercampur “garam alami” dari laut. Wakakakaka!
Selesai makan siang, kami pun menuju Pulau Pramuka untuk bebersih dan bersiap menuju kapal yang berangkat menuju Muara Angke sekitar jam 1 siang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar